SELAMAT DATANG DI BLOG SDN 008 BATU SOPANG - KAB. PASER - KALIMANTAN TIMUR

Rabu, 24 Juni 2020

Ida Herawati: Perjuangan Tak Berujung di SD Kunjung

Salah satu tantangan dalam pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia ialah kurangnya guru  di daerah 3T. Terbatasnya sarana dan prasarana, sampai belum meratanya SDM daerah, merupakan persoalan klasik yang belum usai. Di Kabupaten Paser, Ida Herawati berjuang puluhan tahun supaya anak-anak menikmati bangku sekolah.  

Ida Herawati didatangkan secara khusus untuk mengajar siswa SD Kunjung dari Kalimantan Selatan.

“Selama masih dibutuhkan dan masih mampu, saya akan terus mengajar.” Kalimat itu meluncur dari bibir Ida Herawati saat dijumpai akhir pekan lalu. Ia baru saja menyelesaikan pelajaran dan bergegas keluar kelas. Meraih sebuah besi tua dan memukul lonceng yang sudah berkarat. Kebiasaan yang sama, yang sudah dijalani perempuan asal Kalimantan Selatan itu selama puluhan tuhan.
Ida Herawati adalah guru yang telah mengajar selama 20 tahun di SD Kunjung, Desa Busui, Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Disebut ‘SD Kunjung’ karena sekolah itu merupakan cabang dari SD 008 Desa Serakit. Sebuah desa berjarak sekitar dua kilometer dari daerah itu. Masih dalam lingkup administrasi Kecamatan Batu Sopang.
Busui adalah nama sebuah Desa di pinggir jalan poros, berada dekat dengan perbatasan  provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Terdapat sekitar 50 rumah, yang dihuni sekitar 70 Kepala Keluarga (KK).
Ida mulai mengabdi sejak 1999. Tepat setahun ketika pemerintahan orde baru berakhir. Ia memulai perjuangannya sebagai guru kontrak  dengan gaji Rp 100 ribu per bulan. “Kita (baca: saya) ini dari selatan (Kalimantan Selatan,red), dulu ada penerimaan guru kontrak, kita ikut (mendaftar), lalu diterima, ditempatkan di sini,” katanya.
Saat itu, kata dia, tidak ada guru di SD tersebut. Belasan murid tak bisa belajar karena kegiatan belajar mengajar terhenti. Ida mengingat, peristiwa itu terjadi pada bulan Juli tahun 1999. Ia pun mengajar hingga kontrak berakhir pada Desember tahun yang sama.
Karena kontrak mengajar berakhir, awal tahun 2000 ia sempat berhenti. Tapi hanya selama tiga bulan. Seorang guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menggantikannya, memintanya kembali mengajar. Berstatus guru honor, iapun kembali ke kelas.
Sejak saat itu, Ia mengajar dengan status guru honor sekolah. Upah yang ia peroleh pun naik secara berjenjang. Ia memaparkan, awalnya Rp 100 ribu, dua tahun kemudian naik jadi Rp 200 ribu, terus naik lagi jadi Rp 250 ribu hingga tahun 2005  ia memperoleh insentive (tunjangan) sebesar Rp 300 ribu per bulan.
Pada 2009, ketika ada penerimaan guru kontrak dari Pemerintahan Kabupaten Paser, Ida mencoba mendaftar dan lulus. “Sejak itu saya berstatus guru kontrak lagi, sampai sekarang ini,” imbuhnya. Dia menjelaskan, upah yang diperoleh awalnya Rp 1,7 juta. Sejak tiga tahun terakhir, Ida mengaku menerima upah sebesar Rp 2,2 juta per bulan.
Namun bukan gaji yang menjadi alsan utama Ida bertahan. “Saya hanya ingin membagikan ilmu yang saya punya buat anak-anak didik saya,” ucapnya. Apalagi, tak banyak guru yang bersedia dan mau mengajar di tempat terpencil dengan fasilitas minim.
“Melihat anak-anak di sini saya kasihan. Mereka kesulitan mengakses pendidikan, sebab orang tua mereka sehari-hari pekerjaannya berladang di hutan, tidak bisa mengantar anaknya sekolah. Sementara anak-anak mereka punya semangat yang besar untuk belajar. Itu yang membuat saya tidak mau kalah semangat untuk mengajar.”
Memanfaatkan Alam Sebagai Alat Peraga Mengajar
Terbatasnya fasilitas tak membuat Ida patah arang. Ia berusaha memotivasi siswa-siswinya untuk memanfaatkan fasilitas yang serba sederhana untuk tetap belajar.
Ida menceritakan, kondisi sekolah dulu sangat terbatas, hanya ada satu bangunan yang berdinding papan, beratap seng, berukuran 6×4 meter yang dibagi dua ruangan. Satu ruangan disekat lagi menjadi dua. Sehingga bisa digunakan empat kelas, dari kelas satu sampai kelas empat.
Namun, lanjut dia, saat ini kondisinya sudah cukup lumayan, sudah dibangun satu bangunan beton yang terdiri dari empat ruangan. Hanya yang kurang, katanya, alat peraga untuk mengajar, yang hanya tersedia kapur dan papan tulis. Sementara alat peraga lainnya, terpaksa harus memanfaatkan benda-benda yang tersedia di sekitar. “Kita bisa aja ngambil dari alam, misalnya daun-daunan atau batu untuk belajar hitung-hitungan,” katanya.
Guru Ida pernah mencoba mengajukan proposal permohonan bantuan alat elektronik berupa laptop untuk proses belajar mengajar kepada perusahaan tambang batu bara di daerah tersebut: PT Kideco Jaya Agung. Namun, kata dia, hingga sekarang proposal tersebut belum mendapat respon. “Disuruh tunggu sampai enam bulan,” ujarnya. Padahal, dia berencana lagi untuk mengajukan permohonan bantuan proyektor jika proposalnya itu disetujui.
Selain itu, jelas Ida, sarana kebersihan juga masih kurang, misalnya tempat sampah, “itu sudah banyak yang rusak,” sambung Ida. Dia menambahkan, sejarah penyebutan SD Kunjung karena dahulu, tidak ada guru tetap yang mengajar di sekolah tersebut. Melainkan guru dari SD Induk, yaitu SD 008 Desa Serakit yang datang untuk mengajar ke SD tersebut. “Memang dulu gurunya yang datang dari SD induk, mengajar ke sini. Makanya disebut SD kunjung. Tapi sekarang sudah tidak. Gurunya sudah tetap,” jelasnya.
Terkait kurikulum, Ida mengaku telah menerapkan standar nasional kurikulum 2013. Meskipun, metode pengajarannya ia masih harus menyesuaikan. Murid masuk ke SD tersebut, katanya, belum semua mampu mengenal huruf. Karena ada sebagian yang memulai sekolah dari Taman Kanak-kanak (TK) sebagian lagi tidak, sehingga, lanjutnya, tidak bisa disama ratakan kemampuannya.
“Kita tidak bisa langsung mengajarkan materi dari pemerintahan, karena kurikulum tersebut ditetapkan berdasarkan kemampuan anak-anak di kota. Jadi kita harus terlebih dahulu mengenalkan huruf ke semua murid. Istilahnya disamakan kemampuannya, kalau sudah itu, baru kita masuk ke materi sesuai kurikulum pemerintah,” terangnya.
Ida mengatakan, saat ini ada tiga orang guru yang mengajar di SD Kunjung Busui. Sebelumnya, kata dia, ada empat, mengajar untuk kelas satu sampai kelas empat. Namun, sebulan yang lalu salah satu guru tersebut, yaitu guru kelas dua telah berhenti.
Jenjang kelas di SD Kunjung Busui hanya sampai kelas empat. Dengan jumlah murid masing-masing kelas empat delapan orang, kelas tiga sembilan orang, kelas dua lima orang dan kelas satu enam orang.
“Rata-rata yang masuk setiap tahun, sedikit, tidak sampai sepuluh orang. makanya kita belum buka sampai kelas enam. Jadi yang naik kelas lima dan kelas enam disuruh lanjut di SD induk. Itu kebijakan pemerintah. Mungkin pemerintah merasa rugi kalau bayar guru banyak, dengan jumlah siswanya yang sedikit,” terangnya.
Saat ini saja, sambungnya, hanya ada tiga guru yang mengampu empat kelas. Para guru tersebut saling berbagi waktu mengajar satu kelas lagi. Mereka secara bergantian juga mengambil peran sebagai guru olah raga. Sementara, khusus guru agama masih didatangkan dari SD induk. Sedangkan guru olahraga, juga dilakukan oleh tiga guru tersebut.
Para guru yang mengajar di SD Kunjung Busui berasal dari Kalimantan Selatan. Namun, tak semuanya selalu aktif. Sering kali hanya Ida yang mengajar seorang diri. Dua rekannya, yang sama-sama berstatus guru kontrak, dengan upah yang sama, masih kesulitan menyesuaikan diri.
Kondisi ini, kata Ida sudah berlangsung lama. Tahun 2000 misalnya, ada seorang guru berstatus PNS diperbantukan. Tapi tidak lama guru tersebut berhenti juga. Ida kembali menjadi satu-satunya guru di SD tersebut. Baru pada tahun 2003 ada guru PNS lagi yang didatangkan membantunya mengajar di SD itu. Namun, cuma bertahan satu tahun, sebelum dia pindah “tahun 2005, 2006, 2007 sendiri lagi,” Ida menyebutkan.
Selepas itu ada satu guru lagi yang masuk, namun juga tidak lama keluar. “Silih berganti guru keluar masuk kata Ida, saya juga sudah lupa tahun masuk dan keluarnya.”
Ida tak berharap banyak. Ia hanya ingin pemerintah memenuhi alat peraga untuk proses belajar mengajar. “Tidak perlu mewah, yang penting cukup untuk belajar layak,” ujarnya. Sebenarnya, ia bisa saja memenuhi sebagian kebutuhan fasilitas itu, namun kemampuan ia juga terbatas. Sebab gaji yang diperoleh pun tidak setiap bulan. Sebab katanya, kadang awal tahun ia juga tidak mendapatkan gaji. Seperti awal tahun ini.
Dengan gaji pas-pasan ida mengatakan hanya menyesuaikan kebutuhan keluarga dengan gaji itu “ya dicukup-cukupkan aja, kebetulan suami juga kerja.”
Upaya untuk memperbaiki status pegawai pernah dicoba. Tapi dua kali mendaftar, dua kali pula ia gagal mendaftar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Salah satu penyebab kegagalannya, karena kesalahan dalam memberikan berkas persyaratan. Ia memberikan berkas yang diketik menggunakan karbon pada mesin ketik.
“Yang terakhir itu tahun 2010 kalau tidak salah. Waktu itu tesnya menerima calon pegawai negeri sipil yang angkatan mengajar dari tahun 2005,” ungkap Ida. Pada saat verifikasi, berkasnya dinyatakan tertukar. Karena dulu kan berkas itu diketiknya menggunakan mesin ketik, jadinya kan ada dua, satu yang asli dan satunya yang pakai karbon, semacam foto copynya. Nah pada saat penyerahan, berkas itu tertukar. Katanya yang saya kasih itu yang karbon. jadi ya sudah, saya pasrah,” sambung perempuan 44 tahun ii.
Dengan usianya ini, ia mengaku tak mungkin lagi menjadi PNS. “Sekarang saya mengajar ikhlas aja.” Ida mengaku tak tahu sampai kapan, dua temannya bertahan di SD Kunjung. “Insyaallah saya akan berjuang sampai ujung umur,” katanya. Tulus. (*)

Oleh: Darul Asmawan

Welcome Here