SELAMAT DATANG DI BLOG SDN 008 BATU SOPANG - KAB. PASER - KALIMANTAN TIMUR

Sabtu, 20 Oktober 2012

Kecerdasan Emosi yang Kerap Terlupakan

Tahukah Anda, apa harapan terbesar kebanyakan orang tua yang anaknya duduk di bangku TK? Ya, cepat pintar, cepat bisa baca tulis. Itulah tuntutan sebagian besar wali murid. Mereka akan kecewa jika anak-anak ini terlalu banyak diajarkan menyanyi di TK Besar, karena merasa buah hatinya sudah bukan anak kecil lagi. Yang dituntut justru diberikan latihan dan pekerjaan rumah (PR) sebanyak-banyaknya agar anak-anak ini cepat mahir berhitung dan baca tulis.

Menyanyi, bermain balok, puzzle, petak umpet, dan sejenisnya, dianggap bukan hal yang penting untuk diajarkan. Begitu pula dengan mencocok gambar, bermain plastisin dan mewarnai. Semua itu dianggap hanya permainan, bukan pelajaran. Sehingga masih saja ada orang tua yang merasa rugi menyekolahkan anaknya di Taman Kanak-kanak karena hanya diajarkan bermain-main saja. Akibatnya, mereka langsung menyekolahkan anak ke SD. Atau setidaknya cukup setahun di TK.
Pendapat seperti ini sama sekali salah. Benar memang bahwa semua yang disebut di atas adalah permainan, tetapi justru dengan cara itulah semestinya anak usia TK belajar. Karena dunia mereka adalah dunia bermain. Maka semestinya mereka mempelajari baca tulis dan berhitung dengan menggunakan metode permainan. Apalagi di dalam permainan-permainan itulah ternyata terkandung proses utama pembentukan kecerdasan emosi anak. Dan justru di masa TK inilah anak memiliki kesempatan untuk mengoptimalkan perkembangan kecerdasanemosinya.
Mengembangkan Kecerdasan Emosi
Melalui kegiatan menyanyi, kepekaan rasa anak disentuh dan dirangsang. Cinta kasih kepada ayah bunda, keinginan berbakti dan membalas jasa keduanya, misalnya, bisa ditumbuhkan melalui lagu. Kepekaan terhadap lingkungan, disentuh melalui lagu-lagu yang mensyukuri keindahan alam dan kelebihan-kelebihannya. Perasaan kasih sayang anak, baik kepada sesama maupun kepada binatang, pun bisa ditumbuhkan melalui kelembutan dan keceriaan lagu-lagu dengan tema tersebut. Sementara lagu-lagu perjuangan akan menyulut  kemarahan anak kepada musuh yang telah mencabik-cabik negara dan harga dirinya. Selain itu, kegiatan menyanyi dengan cara berdiri di depan teman-teman sambil bergaya mengikuti irama, sangat bermanfaat  untuk meningkatkan keberanian dan kepercayaan diri anak.
Permahnan membangun balok menjadi bangunan yang tinggi, selain melatih konsentrasi, bisa bermanfaat untuk mengontrol ambisi anak. Setiap anak pasti berambisi membangun menara setinggi-tingginya, namun ia akan belajar berhenti berambisi pada tahap tingkat ketinggian tertentu karena keseimbangan sudah tidak memungkinkan lagi. Di sini pun ada pula pelajaran berlatih kesabaran saat membangun sambil mempertahankan keseimbangan, serta membangun keuletan dengan menumpuknya satu demi satu, sedikit demi sedikit. Juga kreatifitas dan imajinasi, yang akan membawa anak ke dunia kepuasannya sendiri.
Melalui berbagai permainan kelompok, seperti petak umpet, petak jongkok, dan main kelereng, anak belajar mematuhi peraturan. Mereka pun belajar menguasai emosinya baik ketika menjadi pemenang maupun ketika harus menerima kekalahan.
Dengan aktifitas menggambar, anak memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan perasaannya. Hal ini penting, untuk menyalurkan kesedihannya ketika sedang menghadapi kesedihan, sehingga berkurang beban kesedihan itu. Atau menyalurkan kemarahan, ketika satu saat mendapat hukuman di sekolah. Penyaluran seperti ini, bermanfaat mengurangi beban emosi yang terasa sesak menggumpal di dada.
Sementara kegiatan mewarnai, di dalamnya terkandung pembelajaran kepekaan terhadap rasa seni, harmoni rangkaian warna, yang akan memperlembut perasaan mereka.
TK, Bengkel Kecerdasan Emosi
Sebagian besar pembentukan sisi-sisi kecerdasan emosi anak, justru terbentuk di masa-masa TK. Terutama karena di usia empat hingga enam tahun itulah, saatnya mereka belajar berkomunikasi dan bergaul dengan teman dan lingkungan. Ada begitu banyak peristiwa, intrik, dan momen yang terjadi selama dua tahun di TK tersebut. Bagaimana mereka berusaha bertahan menghadapi semua masalah itulah yang mengasah kecerdasan emosinya.
Bisa jadi seorang anak dianggap bagaikan seorang raja, di mana seluruh anggota keluarga baik ayah, bunda, nenek, hingga kakak, senantiasa mengabulkan permintaan anak. Hingga pembantu rumah tangga pun, siap melayani apa saja permintaan anak, hanya dengan satu kali perintah dan panggilan saja.
Sebaliknya di sekolah ia harus belajar berbagi dengan teman, karena mereka semua memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai murid. Ia harus belajar mengalah saat berebut tempat duduk. Atau belajar antri ketika harus mencuci tangan. Juga belajar menahan sabar dan menunda keinginan, karena harus bergantian. Mereka juga belajar menghargai karya temannya, belajar bekerjasama membuat tugas dari ibu guru.
 
Dalam permainan kelompok, anak belajar mematuhi peraturan, juga belajar mengambil sikap ketika ada teman yang berbuat curang. Mereka juga belajar berbicara dengan simpatik untuk menarik perhatian temannya. Dan belajar menghargai teman agar dirinya pun dihargai oleh teman-temannya.
Dunia kehidupan anak di TK, benar-benar sarat dengan proses pengembangan EQ tersebut. Melatih keberanian, percaya diri, dan kemandirian. Juga belajar menahan marah, menunda keinginan, antri, mengutamakan orang lain, hingga belajar mengalah. Semua terjadi, hampir setiap hari. Maka, bantuan dan bimbingan dari guru dan orangtua pun ia butuhkan sewaktu-waktu. Inilah saat-saat mereka menentukan ke mana arah dan seperti apakah kualitas kecerdasanemosinya.
Menginjak usia Sekolah Dasar, proses pembentukan kecerdasan emosi masih terus berlangsung. Konflik dengan teman terjadi semakin kompleks. Perebutan ‘kekuasaan’ atas berbagai fasilitas sekolah, persaingan kompetisi mempertahankan prestasi pun kian tinggi. Melalui proses-proses tersebutlah, kecerdasan emosi anak dipertahanan dan dikembangkan.
Rumahku, Pusat Kecerdasan Emosiku
            Selain di sekolah, di rumah pun senantiasa terjadi peristiwa yang merupakan proses pembentukan kecerdasan emosi ketika anak harus belajar berbagi dengan adik barunya. Berbagi perhatian orangtua, berbagi kasih sayang dari nenek, juga berbagi pujian dari saudara-saudra lain.
Perselisihan antarsaudara, hampir setiap hari bisa terjadi. Masing-masing anak terlahir dengan mengusung egosentrisme, sehingga setiap anak memiliki naluri unuk selalu menjadi yang nomor satu. Kenyataannya, hanya satu yang bisa menjadi nomor satu. Sementara yang lain harus belajar menerima kekalahan, belajar membuang  keputusasaan, dan bangkit dari kegagalan.
Detik demi detik dalam kehidupan anak di rumahnya, semua sarat dengan bahan pembelajaran. Mulai dari pelajaran kemandirian, ketika anak-anak belajar membereskan sendiri mainannya usai bermain, mengenakan pakaian sendiri, mandi sendiri, dan membuat minumnya sendiri. Pelajaran tanggung jawab, saat anak mengerjakan tugas-tugas ringan membantu ibu yang dibebankan kepadanya dan saat mereka mempersiapkan sendiri pelajaran yang harus dibawa sekolah esok hari. Juga tanggungjawab saat menumpahkan minumannya, menjatuhkan piring, hingga menghilangkan buku milik teman yang dipinjamnya.
Sementara itu, teladan ayah-ibu di rumah, menjadi pelajaran paling berharga bagi anak. Dari merekalah, kecerdasan emosi anak memperoleh panduannya. Mustahil, memperoleh anak berkepribadian kuat jika ayah-ibunya tak memiliki kecakapan kecerdasan emosi kuat pula. Justru pada merekalah terletak semua kuncinya. Jika menginginkan putra-putri anda memiliki kecerdasan emosi tinggi, ayah-ibunyalah yang harus belajar terlebih dulu, meningkatkan kecerdasan emosi pribadinya. Selanjutnya, biar berlangsung apa adanya. Karena tanpa susah payah menasehati pun, ketinggian kecerdasan emosi orangtua sudah akan terbaca dengan sendirinya oleh anak. Itulah peran rumah, sebagai pusat kecerdasan emosi.* 
 
Sumber : http://www.wakaf.info
Oleh: Irawati Istadi

Welcome Here